Mabruridlo : Guru MTs Al Fatah Suradadi

<< Selamat Datang di Blog's Abdima MTs Al Fatah Suradadi >> << Terima kasih sudah mampir, Semoga dapat memberi arti dan manfaat, meskipun sangat kecil dan remeh >>

Senin, 01 Desember 2014

Strategi Pendidikan Agama Islam di Tengah Perubahan Sosial

A.   PENGANTAR
     Spiritualitas atau agama  mulai mengalami kebermaknaan dalam krisis manusia modern yang diakibatkan oleh “ Ketidak ramahan “ teknologi. Keberadaan pendidikan agama atau pendidikan moral adalah urgen untuk menjadi sandaran transidental ketika dalam diri manusia mengalami kekeringan spiritual. Hanya saja lebih penting dalam perbincangan berikutnya, bukanlah terletak pada sekedar pemberian justifikasi terhadap urgensi tadi, akan tetapi berusaha merenungkan kembali sistem Pendidikan Agama Islam.
Selama ini para ahli pendidikan kita, terkesan kurang profesional dan tidak mampu menatap jauh kedepan, sehingga yang terjadi adalah hanya modifikasi parsial atau dalam bahasa yang ekstrim sekedar tambal sulam.
     Upaya untuk memformat pendidikan agama kearah yang lebih proporsional dan profesional memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi, dan reorientasi, sehingga pendidikan agama dapat memberikan sumbangan yang signifikan dalam pembangunan nasional. Disamping itu dengan cara demikian, akan menghindari marginalisasi dan penomorduaan pendidikan agama.
     Disinilah saat yang tepat bagi para pemikir agama untuk mencari model yang relevan bagi pengajaran agama, sehingga agama bisa berperan ditengah – tengah arus perubahan sosial yang terjadi. Pertanyaan selanjutnya yang perlu dikedepankan adalah jenis pendidikan yang bagaimana, yang perlu dan akan dipilih, yaitu pendidikan formal yang sedikit rigid atau jenis pendidikan yang fleksibel sehingga mudah direnovasi. Apakah kita akan mempertahankan sistem pendidikan yang tersedia selama ini, seperti pendidikan ala pesantren, madrasah, lembaga umum (Swasta) yang bercirikan Islam, atau kita berpretensi mencari modus lain dan baru yang mungkin lebih relevan.
     Dari pengantar dimuka, penulis berkeyakinan bahwa inilah agenda permasalahan seputar pendidikan agama untuk didiskusikan. Walaupun demikian, peninjauan kembali terhadap aspek strategis diatas tidak bisa dilepaskan dengan kepentingan politik, yaitu kebijakan pendidikan nasional.

B.  ORIENTASI KONSEPTUAL
      Sebelum mendiskusikan persoalan yang dipertanyakan tadi, perlu dibahas dulu bagaimana pelaksanaan pendidikan agama sekarang ini dan apa tantangan dimasa depan. Jika kita mau jujur, pendidikan agama yang terjadi saat ini sesungguhnya tidak lebih dari upaya ‘ mentransfer ilmu pengetahuan tentang ilmu agama ‘ kepada anak didik, daripada upaya mendidik anak dalam arti luas melalui metode pembelajaran seperti halnya bidang studi/ ilmu umum. Hal ini bisa dilihat dengan jelas pada aktifitas belajar mengajar di kelas dimana guru lebih menekankan tercapainya materi ajar secara kuantitatif daripada menanamkan nilai agama kepada anak sebagai kerangka spiritual dan pedoman moral untuk menatap masa depannya. Ditambah lagi dengan model evaluasi yang menekankan kemampuan hafalan siswa.
     Guru agama lebih menekankan pembahasan materi pelajaran yang tertulis pada buku ajar daripada mendiskusikan persoalan – persoalan kehidupan riil yang terjadi dimasyarakat yang sebenarnya memerlukan pemikiran, dan tela’ah kritis sehingga agama benar – benar berfungsi dan masuk dalam perilaku kehidupannya. Dari beberapa fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa metodologi pendidikan agama yang selama ini berlangsung masih mengedepankan pendekatan Indoktrinasi yang akhirnya akan melahirkan sikap Dogmatis yang ekstrim.
    Belum terumuskannya paradigma filosofis tentang pendidikan agama secara jelas -sehingga model pendidikan berlangsung seperti sekarang ini- dikhawatirkan akan menurunkan daya fungsional dan relevansi ajaran agama itu sendiri sebagai tuntutan hidup manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari – hari, karena ajaran agama hanya dikumpulkan menjadi materi ajar yang harus dihafal oleh anak didik. Akibatnya, agama tidak muncul dalam pertumbuhan anak itu sendiri sebagai kerangka spiritual, sebagai pandangan hidup dan pedoman moral sehari – hari.
    Redefinisi filosofis pendidikan agama kiranya sudah sangat mendesak mengingat tantangan dunia yang kita hadapi -dimana agama diharapkan berperan didalamnya- akibat arus modernisasi dan globalisasi yang didominasi oleh masalah – masalah kemanusiaan yang mendasar akan sangat kompleks.
Pendidikan agama tidak hanya diartikan sebagai proses kegiatan belajar – mengajar ilmu agama, melainkan pula proses pembudayaan anak didik.

C. PENDEKATAN DAN METODE
    Selama ini belum terumuskan secara jelas kerangka paradigma filosofis tentang pendidikan agama yang seharusnya dijadikan dasar pengembangan operasional pelaksanaan pendidikan agama. Atau kalaupun sudah definisi tersebut menggunakan definisi filosofis tentang pendidikan secara umum, tentu saja berbeda dengan pendidikan agama yang memiliki kaitan dengan penanaman nilai – nilai dan penanaman perilaku pada anak didik untuk memahami dan mengamalkan pesan – pesan ilahiyah.
     Pendidikan dianalisis sebagai satu kesatuan komponen yang aktif, yang saling berinteraksi didalam dirinya sendiri. Pendekatan ini bersifat internal sehingga semua komponen terkait : Sistem, Manajemen, Sumber daya manusia, Sumber dana, Sarana dan Prasarana pendukung perlu direnovasi dan di aktualisasikan kembali sesuai dengan tuntutan zaman.
     Bagi siswa akan belajar mandiri dengan sumber – sumber belajar yang ada dan bervariasi. Matematika, komputer, bahasa akan memanfaatkan komputer dan teknologi informasi lainnya. Agama, sejarah, juga sama. Sudah terdapat dipasar, CD untuk Tafsir, Hadits, Qur’an dan paket – paket pelajaran agama lainnya yang segera akan diadopsi oleh sekolah. Maka guru agama ditantang untuk menguasai teknologi informasi ini. Pertanyaannya kurikulum dan pengajaran yang seperti apa, guru, karyawan, dan kepala sekolah yang bagaimana, dan peran orang tua seperti apa, yang ada di sekolah – sekolah efektif ? Bahasan berikut difokuskan pada pertanyaan – pertanyaan ini.

Kurikulum dan Pengajaran
     Kurikulum disekolah yang efektif memiliki tiga ciri mendasar. Pertama, pengetahuan dasar yang penting harus dapat diperoleh oleh semua siswa, terlepas dari latarbelakang siswa. Disamping itu sekolah didirikan bukanlah hanya untuk sekelompok murid tertentu, tapi ia adalah tempat dimana sejumlah anak muda mencari ilmu dan ketrampilan, jadi pengetahuan dan ketrampilan harus dapat di peroleh oleh semua siswa. Kedua, alokasi waktu diseimbangkan untuk semua kurikulum. Jadi kalau kurikulum tertentu (misalnya, pendidikan agama) di anggap sangat penting, tetapi alokasi waktu tidak maksimal maka akan menanggalkan ciri keefektifan sekolah.
     Ketiga, koherensi kurikulum yang berarti bahwa pelajaran yang lalu harus menjadi landasan untuk pelajaran sekarang dan untuk memprediksikan pelajaran yang akan datang.
Selama pengajaran berlangsung siswa disekolah efektif memanfaatkan lebih banyak waktunya untuk belajar ; individu atau kelompok, terstruktur atau non struktural.
    Selanjutnya, sekolah – sekolah yang efektif memiliki kurikulum yang siap untuk dipelajari oleh semua siswa dengan berbagai aktifitasnya dalam suasana yang tentram, aman dan bebas dari tekanan.

Guru di Sekolah
     Guru menggunakan banyak waktunya untuk mempersiapkan dan mengajarkan isi pelajaran serta selalu memonitor denga dekat hasil kerja siswa. Guru disekolah efektif adalah mereka yang mendorong siswa untuk menjadi benar – benar pencari ilmu; menggunakan waktu secara efektif, khususnya waktu untuk mengajar; mengetahui dan menghargai pencapaian dan usaha siswa; secara sistematik dan reguler memonitor perkembangan siswa; dan selalu mengembangkan keilmuannya.

Orang Tua Sekolah
     Dalam sekolah efektif orang tua siswa berpartisipasi secara baik. Partisipasi orang tua pada sekolah tidak hanya berupa finansial, misalnya menyumbang untuk pengembangan pendidikan sekolah, tetapi dengan cara memperhatikan dan membantu belajar anak dirumah dan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam keputusan – keputusan sekolah baik yang berkenaan denga dana maupun hal akademis. Jadi partisipasi orang tua itu sifatnya akademis dan non-akademis.

Kepala Sekolah
     Kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang memiliki ciri kepemimpinan instruksional sebagai lawan dari manager. Kepemimpinan instruksional adalah kepemimpinan yang mengarahkan sumber – sumber non manusia dan sumber manusia untuk menciptakan suasana belajar yang mendorong pencapaian belajar siswa.

Adapun ciri – ciri Kepala Sekolah efektif, antara lain :
  • Menekankan tujuan dan hasil yang terfokus pada belajar. Kepala sekolah aktif dalam menentukan tujuan pengajaran, menekankan ketrampilan dasar mengajar, mengembangkan standar pencapaian siswa, dan mengekspresikan kepercayaan bahwa semua siswa dapat mencapai tujuan belajar. 
  • Pengambil keputusan yang kuat dan berwibawa. Kepala Sekolah yang berhasil lebih mampu dari koleganya, terutama dalam bidang kurikulum dan pengajaran. 
  • Manager efektif, Kepala sekolah mencurahkan banyak waktunya untuk koordinasi dan manajemen pengajaran dan lebih mampu dalam urusan pengajaran. Mereka memperhatikan guru – guru dalam bekerja, mendiskusikan problema pengajaran, mendukung usaha – usaha guru untuk meningkatkan dan mengembangkan prosedur evaluasi yang menilai baik performans  guru maupun siswa, serta mendorong perkembangan staff. 
  • Ketrampilan “ Human Relationship “ yang kuat. Kepala sekolah memahami keunikan dan kebutuhan guru dan membantu guru dalam mencapai tujuannya.

Dari sisni jelaslah bahwa untuk memimpin sekolah yang efektif dibutuhkan kepala sekolah yang efektif pula.

D.    STRATEGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM : Pemikiran Awal di Masa Depan.
     Gema dan trend yang dihadapi Pendidikan Agama Islam dewasa ini cukup kompleks. Untuk menguasai dan merespon hal tersebut diperlukan perombakan sistem pendidikan. Yaitu adanya perencanaan yang terpadu dan menyeluruh untuk mengadaptasikan pendidikan Islam dengan kebutuhan masyarakat. Keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan totalitas masalah secara komprehensif dan mendasar. Dan ini diperlukan keterpaduan dan kejelasan antara cita – cita dan operasi, pemberdayaan dan reorientasi sistem, inovasi dalam manajemen, serta peningkatan sumber daya manusia.
   Tujuan pendidikan agama Islam harus tetap diarahkan untuk tercapainya totalitas kepribadian manusia. Tujuan ini sifatnya memadukan konsepsi ketuhanan, kemanusiaan, dan individualitas serta alam semesta. Manusia – manusia yang berkrepibadian utuh memerlukan pendekatan diri dengan pencipta-Nya, tanggap dengan ciptaan Nya yang lain (orang lain, binatang, alam), disamping puas akan keberadaan dirinya (fisik, emosi, ekonomi). Pengembangan individu secara total berarti menyediakan alat dan sarana yang mampu menumbuhkembangkan segala potensial diri. Aspek kepercayaan, intelektual, emosional, moral, dan karya dipadukan untuk tujuan ini.
     Kurikulum pendidikan agama Islam harus senantiasa mengalami revisi – revisi sebagian bahkan perombakan totalitas kurikulum yang ada untuk di update sesuai dengan diskursus yang ada, sekaligus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tentang pendidikan agama. Disamping itu mungkin perlu porsi yang wajar penyebarannya denga bidang – bidang lain disekolah.
    Untuk melakukan pembenahan kurikulum ini, mungkin perlu tindakan terpadu untuk menelaah kembali paket kurikulum yang ada beserta segala aspeknya (organisasi, isi, bahan, strategi, media dan sebagainya). Untuk itu diperlukan pokja – pokja pada masing – masing sekolah untuk membahas kurikulum agama, yang kemudian hasilnya dikirimkan kepada departemen – departemen setempat, kemudian tingkat propinsi, lalu ke pusat. Orang yang paling diperhatikan dalam pokja ini tentunya guru “Agama”, guru “bidang Agama”, spesialis pendidikan agama, dan supervisor pendidikan agama, disamping ilmuwan agama.
     Pengajaran agama Islam tidak lagi mengikuti pendekatan pengajaran tradisional dimana si terdidik pasif  “nrimo ing pandum” dari guru. Tetapi pendekatan pengajaran yang sifatnya kreatif dan mengutamakan si terdidik. Pengajaran pendidikan agama akan mengajak anak didik mencari dan menemukan jawaban – jawaban atas pertanyaan – pertanyaan keagamaan yang muncul. Pencarian jawaban ini diusahakan oleh siswa melalui berbagai pendekatan. Pengajaran juga tidak memaksa anak untuk menerima sesuatu secara membabi – buta, dan selalu ada kesempatan untuk mempertanyakan hal – hal doktrinal, serta membekali siswa untuk mengimajinasikan kondisi masa depan keagamaannya.
     Pendidik agama Islam harus memiliki ciri – ciri kualitatif. Pada dataran konseptual guru agama memerlukan lima gerakan – gerakan mendasar dalam rangka menjalankan tugasnya. Pertama, rekonstruksi teologi yang memadukan konsepsi Intelektualis, Tauhid,  moral spiritual untuk memecahkan problema modern. Kedua, reorientasi sistem ritual untuk menghilangkan kesan rutinitas dan formalistis menuju pembentukan kepribadian. Ketiga, redefinisi konsepsi akhlak yang bukan hanya segenap aturan main cara berperilaku, tetapi mencakup totalitas kepribadian muslim, jujur, disiplin, bertanggung jawab, ikhlas, cinta ilmu, cinta kemajuan, kritis, kerja keras, terbuka dan sebagainya. Keempat, redireksi cinta Kitab Suci pada pemahaman makna dan kandungannya serta semangat ajaran – ajaranNya, bukan menghafal dan mencari pahala bacaan huruf – hurufnya. Kelima, integrasi antara ilmu dan agama; ilmu bisa dijelaskan melalui agama dan sebaliknya. Sementara itu perlu adanya pencarian konsep pendidikan yang berparadigma Qur’an. Hal ini mencakup menomorsatukan tauhid, tahapan – tahapan, kebebasan, dialog – dialog, mengembangkan kasih sayang, keseimbangan dan tauladan.
Pada dataran praktis, agar responsif dengan perkembangan Iptek dan eksesnya, disamping diperlukan rekonstruksi konseptualistik tadi, maka pendidik agama harus makin melek teknologi, terbuka, tidak eksklusif dan selalu memiliki ghirah mencari ilmu.
     Organisasi pendidikan agama Islam memerlukan rekonstruksi supaya mampu beradaptasi dengan lingkungan. Organisasi pendidikan perlu dipahami sebagai sistem terbuka. Rekonstruksi organisasi diarahkan untuk menjadi organisasi post-birokrasi  atau organisasi network. Model organisasi ini akan sangat berbeda daripada model birokrasi.  Organisasi model baru ini tidak mementingkan hierarki tapi lebih memanfaatkan pendekatan profesional, ia mementingkan kerjasama diantara penghuni organisasi. Implikasinya, guru – guru yang kenyataannya baik meskipun belum lama mengajar, harus mendapat tempat yang wajar, sehingga semangatnya tidak mengalami pengendoran.

E.   KESIMPULAN
     Dalam upaya mencapai kualitas manusia sesuai tuntutan masyarakat, munculah persoalan – persoalan ‘ Konseptual dan Teknis ‘ dalam menjalankan aktifitas pendidikan. Dilihat dari paradigma filosofisnya, setiap pendidikan mempunyai pandangan dasar serta visi kultural yang berbeda tergantung pada dasar falsafah hidupnya yang pada gilirannya akan berpengaruh pada pengembangan operasional pendidikan yang meliputi kurikulum, metodologi, materi ajar, evaluasi, serta pengelolaan organisasi pendidikan dan seterusnya. Pembenahan dan peningkatan pendidikan islam bukanlah pekerjaan sederhana. Karena memerlukan perencanaan secara integral dan komprehensif agar sasarannya terfokus, dengan melibatkan berbagai aspek terkait. Disamping perencanaan yang baik dan terarah, perlu didukung dengan kegiatan yang bisa menghasilkan landasan – landasan kebijakan dan pengembangannya.
     Dalam konteks lembaga pendidikan, keberhasilan pendidikan mencakup pencapaian tujuan dan kemempuan sekolah dalam mempertahankan proses organisasinya. Namun kenyataanya tidak semua sekolah memiliki tujuan yang sama, meskipun secara nasional semua sekolah hendak mencapai tujuan pembangunan negara dan secara spesifik tentu tujuan akan dicapai berbeda – beda. Oleh karenanya terasa sulit membandingkan keberhasilan sekolah yang satu dengan yang lain. Sekolah yang berhasil dicirikan oleh hal – hal berikut; tujuan yang jelas, suasana yang kondusif untuk belajar, harapan yang tinggi dari siswa, kepala sekolah yang demokratis, dan dukungan yang kuat dari orang tua dan masyarakat.
     Tampak dihadapan kita sebuah tantangan dan kemungkinan yang harus senantiasa diperhatikan dalam setiap jejak melaksanakan proses pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam harus melahirkan kepribadian insan secara totalitas. Dan ini memerlukan perombakan – perombakan mendasar baik dalam dataran konsepsional maupun dataran praktis. Semoga tulisan ini mampu memberikan sumbangan rumusan baru yang strategis dan bermakna bagi bangsa dan negara. Wallahu a’lam bi al -  Shawab.

☺. Praktisi Pendidikan pada MTs Al Fatah Suradadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar