A. PENGANTAR
Spiritualitas
atau agama mulai mengalami kebermaknaan
dalam krisis manusia modern yang diakibatkan oleh “ Ketidak ramahan “ teknologi. Keberadaan pendidikan agama atau
pendidikan moral adalah urgen untuk
menjadi sandaran transidental ketika
dalam diri manusia mengalami kekeringan spiritual. Hanya saja lebih penting
dalam perbincangan berikutnya, bukanlah terletak pada sekedar pemberian
justifikasi terhadap urgensi tadi, akan tetapi berusaha merenungkan kembali
sistem Pendidikan Agama Islam.
Selama ini para ahli pendidikan kita, terkesan kurang profesional dan tidak mampu menatap jauh kedepan, sehingga yang terjadi adalah hanya modifikasi parsial atau dalam bahasa yang ekstrim sekedar tambal sulam.
Selama ini para ahli pendidikan kita, terkesan kurang profesional dan tidak mampu menatap jauh kedepan, sehingga yang terjadi adalah hanya modifikasi parsial atau dalam bahasa yang ekstrim sekedar tambal sulam.
Upaya
untuk memformat pendidikan agama kearah yang lebih proporsional dan profesional
memerlukan rekonstruksi,
rekonseptualisasi, dan reorientasi,
sehingga pendidikan agama dapat memberikan sumbangan yang signifikan dalam
pembangunan nasional. Disamping itu dengan cara demikian, akan menghindari marginalisasi dan penomorduaan
pendidikan agama.
Disinilah
saat yang tepat bagi para pemikir agama untuk mencari model yang relevan bagi
pengajaran agama, sehingga agama bisa berperan ditengah – tengah arus perubahan
sosial yang terjadi. Pertanyaan selanjutnya yang perlu dikedepankan adalah
jenis pendidikan yang bagaimana, yang perlu dan akan dipilih, yaitu pendidikan
formal yang sedikit rigid atau jenis
pendidikan yang fleksibel sehingga
mudah direnovasi. Apakah kita akan mempertahankan sistem pendidikan yang
tersedia selama ini, seperti pendidikan ala pesantren, madrasah, lembaga umum
(Swasta) yang bercirikan Islam, atau kita berpretensi mencari modus lain dan
baru yang mungkin lebih relevan.
Dari pengantar dimuka, penulis
berkeyakinan bahwa inilah agenda permasalahan seputar pendidikan agama untuk
didiskusikan. Walaupun demikian, peninjauan kembali terhadap aspek strategis
diatas tidak bisa dilepaskan dengan kepentingan politik, yaitu kebijakan
pendidikan nasional.
B. ORIENTASI KONSEPTUAL
Sebelum mendiskusikan persoalan yang
dipertanyakan tadi, perlu dibahas dulu bagaimana pelaksanaan pendidikan agama
sekarang ini dan apa tantangan dimasa depan. Jika kita mau jujur, pendidikan
agama yang terjadi saat ini sesungguhnya tidak lebih dari upaya ‘ mentransfer
ilmu pengetahuan tentang ilmu agama ‘ kepada anak didik, daripada upaya
mendidik anak dalam arti luas melalui metode pembelajaran seperti halnya bidang
studi/ ilmu umum. Hal ini bisa dilihat dengan jelas pada aktifitas belajar
mengajar di kelas dimana guru lebih menekankan tercapainya materi ajar secara
kuantitatif daripada menanamkan nilai agama kepada anak sebagai kerangka
spiritual dan pedoman moral untuk menatap masa depannya. Ditambah lagi dengan
model evaluasi yang menekankan kemampuan hafalan siswa.
Guru agama lebih menekankan pembahasan
materi pelajaran yang tertulis pada buku ajar daripada mendiskusikan persoalan
– persoalan kehidupan riil yang terjadi dimasyarakat yang sebenarnya memerlukan
pemikiran, dan tela’ah kritis sehingga agama benar – benar berfungsi dan masuk
dalam perilaku kehidupannya. Dari beberapa fakta tersebut dapat disimpulkan
bahwa metodologi pendidikan agama yang selama ini berlangsung masih mengedepankan
pendekatan Indoktrinasi yang akhirnya
akan melahirkan sikap Dogmatis yang
ekstrim.
Belum terumuskannya paradigma filosofis
tentang pendidikan agama secara jelas -sehingga model pendidikan berlangsung
seperti sekarang ini- dikhawatirkan akan menurunkan daya fungsional dan
relevansi ajaran agama itu sendiri sebagai tuntutan hidup manusia dalam
menghadapi kenyataan hidup sehari – hari, karena ajaran agama hanya dikumpulkan
menjadi materi ajar yang harus dihafal oleh anak didik. Akibatnya, agama tidak
muncul dalam pertumbuhan anak itu sendiri sebagai kerangka spiritual, sebagai
pandangan hidup dan pedoman moral sehari – hari.
Redefinisi filosofis pendidikan agama
kiranya sudah sangat mendesak mengingat tantangan dunia yang kita hadapi -dimana
agama diharapkan berperan didalamnya- akibat arus modernisasi dan globalisasi
yang didominasi oleh masalah – masalah kemanusiaan yang mendasar akan sangat
kompleks.
Pendidikan agama
tidak hanya diartikan sebagai proses kegiatan belajar – mengajar ilmu agama,
melainkan pula proses pembudayaan anak didik.
C. PENDEKATAN DAN
METODE
Selama ini belum
terumuskan secara jelas kerangka paradigma filosofis tentang pendidikan agama
yang seharusnya dijadikan dasar pengembangan operasional pelaksanaan pendidikan
agama. Atau kalaupun sudah definisi tersebut menggunakan definisi filosofis
tentang pendidikan secara umum, tentu saja berbeda dengan pendidikan agama yang
memiliki kaitan dengan penanaman nilai – nilai dan penanaman perilaku pada anak
didik untuk memahami dan mengamalkan pesan – pesan ilahiyah.
Pendidikan dianalisis sebagai satu
kesatuan komponen yang aktif, yang saling berinteraksi didalam dirinya sendiri.
Pendekatan ini bersifat internal sehingga semua komponen terkait : Sistem,
Manajemen, Sumber daya manusia, Sumber dana, Sarana dan Prasarana pendukung
perlu direnovasi dan di aktualisasikan kembali sesuai dengan tuntutan zaman.
Bagi siswa akan belajar mandiri dengan
sumber – sumber belajar yang ada dan bervariasi. Matematika, komputer, bahasa
akan memanfaatkan komputer dan teknologi informasi lainnya. Agama, sejarah,
juga sama. Sudah terdapat dipasar, CD untuk Tafsir, Hadits, Qur’an dan paket –
paket pelajaran agama lainnya yang segera akan diadopsi oleh sekolah. Maka guru
agama ditantang untuk menguasai teknologi informasi ini. Pertanyaannya
kurikulum dan pengajaran yang seperti apa, guru, karyawan, dan kepala sekolah
yang bagaimana, dan peran orang tua seperti apa, yang ada di sekolah – sekolah
efektif ? Bahasan berikut difokuskan pada pertanyaan – pertanyaan ini.
Kurikulum dan Pengajaran
Kurikulum disekolah yang efektif
memiliki tiga ciri mendasar. Pertama, pengetahuan dasar yang penting harus
dapat diperoleh oleh semua siswa, terlepas dari latarbelakang siswa. Disamping
itu sekolah didirikan bukanlah hanya untuk sekelompok murid tertentu, tapi ia
adalah tempat dimana sejumlah anak muda mencari ilmu dan ketrampilan, jadi
pengetahuan dan ketrampilan harus dapat di peroleh oleh semua siswa. Kedua,
alokasi waktu diseimbangkan untuk semua kurikulum. Jadi kalau kurikulum tertentu
(misalnya, pendidikan agama) di anggap sangat penting, tetapi alokasi waktu
tidak maksimal maka akan menanggalkan ciri keefektifan sekolah.
Ketiga, koherensi kurikulum yang
berarti bahwa pelajaran yang lalu harus menjadi landasan untuk pelajaran sekarang
dan untuk memprediksikan pelajaran yang akan datang.
Selama pengajaran
berlangsung siswa disekolah efektif memanfaatkan lebih banyak waktunya untuk
belajar ; individu atau kelompok, terstruktur atau non struktural.
Selanjutnya, sekolah – sekolah yang
efektif memiliki kurikulum yang siap untuk dipelajari oleh semua siswa dengan
berbagai aktifitasnya dalam suasana yang tentram, aman dan bebas dari tekanan.
Guru di Sekolah
Guru menggunakan banyak waktunya untuk
mempersiapkan dan mengajarkan isi pelajaran serta selalu memonitor denga dekat
hasil kerja siswa. Guru disekolah efektif adalah mereka yang mendorong siswa
untuk menjadi benar – benar pencari ilmu; menggunakan waktu secara efektif,
khususnya waktu untuk mengajar; mengetahui dan menghargai pencapaian dan usaha
siswa; secara sistematik dan reguler memonitor perkembangan siswa; dan selalu
mengembangkan keilmuannya.
Orang Tua Sekolah
Dalam sekolah
efektif orang tua siswa berpartisipasi secara baik. Partisipasi orang tua pada
sekolah tidak hanya berupa finansial, misalnya menyumbang untuk pengembangan
pendidikan sekolah, tetapi dengan cara memperhatikan dan membantu belajar anak
dirumah dan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam keputusan –
keputusan sekolah baik yang berkenaan denga dana maupun hal akademis. Jadi
partisipasi orang tua itu sifatnya akademis dan non-akademis.
Kepala Sekolah
Kepala sekolah yang efektif adalah
kepala sekolah yang memiliki ciri kepemimpinan instruksional sebagai lawan dari
manager. Kepemimpinan instruksional adalah kepemimpinan yang mengarahkan sumber
– sumber non manusia dan sumber manusia untuk menciptakan suasana belajar yang
mendorong pencapaian belajar siswa.
Adapun
ciri – ciri Kepala Sekolah efektif, antara lain :
- Menekankan tujuan dan hasil yang terfokus pada belajar. Kepala sekolah aktif dalam menentukan tujuan pengajaran, menekankan ketrampilan dasar mengajar, mengembangkan standar pencapaian siswa, dan mengekspresikan kepercayaan bahwa semua siswa dapat mencapai tujuan belajar.
- Pengambil keputusan yang kuat dan berwibawa. Kepala Sekolah yang berhasil lebih mampu dari koleganya, terutama dalam bidang kurikulum dan pengajaran.
- Manager efektif, Kepala sekolah mencurahkan banyak waktunya untuk koordinasi dan manajemen pengajaran dan lebih mampu dalam urusan pengajaran. Mereka memperhatikan guru – guru dalam bekerja, mendiskusikan problema pengajaran, mendukung usaha – usaha guru untuk meningkatkan dan mengembangkan prosedur evaluasi yang menilai baik performans guru maupun siswa, serta mendorong perkembangan staff.
- Ketrampilan “ Human Relationship “ yang kuat. Kepala sekolah memahami keunikan dan kebutuhan guru dan membantu guru dalam mencapai tujuannya.
Dari sisni
jelaslah bahwa untuk memimpin sekolah yang efektif dibutuhkan kepala sekolah
yang efektif pula.
D. STRATEGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM : Pemikiran Awal di
Masa Depan.
Gema dan trend
yang dihadapi Pendidikan Agama Islam dewasa ini cukup kompleks. Untuk menguasai
dan merespon hal tersebut diperlukan perombakan sistem pendidikan. Yaitu adanya
perencanaan yang terpadu dan menyeluruh untuk mengadaptasikan pendidikan Islam
dengan kebutuhan masyarakat. Keterbukaan wawasan dan keberanian dalam
memecahkan totalitas masalah secara komprehensif dan mendasar. Dan ini
diperlukan keterpaduan dan kejelasan antara cita – cita dan operasi,
pemberdayaan dan reorientasi sistem, inovasi dalam manajemen, serta peningkatan
sumber daya manusia.
Tujuan pendidikan agama Islam harus
tetap diarahkan untuk tercapainya totalitas kepribadian manusia. Tujuan ini
sifatnya memadukan konsepsi ketuhanan, kemanusiaan, dan individualitas serta
alam semesta. Manusia – manusia yang berkrepibadian utuh memerlukan pendekatan
diri dengan pencipta-Nya, tanggap dengan ciptaan Nya yang lain (orang lain,
binatang, alam), disamping puas akan keberadaan dirinya (fisik, emosi,
ekonomi). Pengembangan individu secara total berarti menyediakan alat dan
sarana yang mampu menumbuhkembangkan segala potensial diri. Aspek kepercayaan,
intelektual, emosional, moral, dan karya dipadukan untuk tujuan ini.
Kurikulum pendidikan agama Islam harus
senantiasa mengalami revisi – revisi sebagian bahkan perombakan totalitas
kurikulum yang ada untuk di update sesuai dengan diskursus yang ada, sekaligus
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tentang pendidikan agama. Disamping
itu mungkin perlu porsi yang wajar penyebarannya denga bidang – bidang lain
disekolah.
Untuk melakukan pembenahan kurikulum
ini, mungkin perlu tindakan terpadu untuk menelaah kembali paket kurikulum yang
ada beserta segala aspeknya (organisasi, isi, bahan, strategi, media dan
sebagainya). Untuk itu diperlukan pokja – pokja pada masing – masing sekolah
untuk membahas kurikulum agama, yang kemudian hasilnya dikirimkan kepada
departemen – departemen setempat, kemudian tingkat propinsi, lalu ke pusat.
Orang yang paling diperhatikan dalam pokja ini tentunya guru “Agama”, guru
“bidang Agama”, spesialis pendidikan agama, dan supervisor pendidikan agama,
disamping ilmuwan agama.
Pengajaran agama Islam tidak lagi
mengikuti pendekatan pengajaran tradisional dimana si terdidik pasif “nrimo ing pandum” dari guru. Tetapi
pendekatan pengajaran yang sifatnya kreatif dan mengutamakan si terdidik.
Pengajaran pendidikan agama akan mengajak anak didik mencari dan menemukan jawaban
– jawaban atas pertanyaan – pertanyaan keagamaan yang muncul. Pencarian jawaban
ini diusahakan oleh siswa melalui berbagai pendekatan. Pengajaran juga tidak
memaksa anak untuk menerima sesuatu secara membabi – buta, dan selalu ada
kesempatan untuk mempertanyakan hal – hal doktrinal, serta membekali siswa
untuk mengimajinasikan kondisi masa depan keagamaannya.
Pendidik agama Islam harus memiliki
ciri – ciri kualitatif. Pada dataran konseptual guru agama memerlukan lima
gerakan – gerakan mendasar dalam rangka menjalankan tugasnya. Pertama, rekonstruksi
teologi yang memadukan konsepsi Intelektualis, Tauhid, moral spiritual untuk memecahkan problema
modern. Kedua, reorientasi sistem ritual untuk menghilangkan kesan rutinitas
dan formalistis menuju pembentukan kepribadian. Ketiga, redefinisi konsepsi
akhlak yang bukan hanya segenap aturan main cara berperilaku, tetapi mencakup
totalitas kepribadian muslim, jujur, disiplin, bertanggung jawab, ikhlas, cinta
ilmu, cinta kemajuan, kritis, kerja keras, terbuka dan sebagainya. Keempat,
redireksi cinta Kitab Suci pada pemahaman makna dan kandungannya serta semangat
ajaran – ajaranNya, bukan menghafal dan mencari pahala bacaan huruf – hurufnya.
Kelima, integrasi antara ilmu dan agama; ilmu bisa dijelaskan melalui agama dan
sebaliknya. Sementara itu perlu adanya pencarian konsep pendidikan yang
berparadigma Qur’an. Hal ini mencakup menomorsatukan tauhid, tahapan – tahapan,
kebebasan, dialog – dialog, mengembangkan kasih sayang, keseimbangan dan
tauladan.
Pada dataran praktis, agar responsif
dengan perkembangan Iptek dan eksesnya, disamping diperlukan rekonstruksi
konseptualistik tadi, maka pendidik agama harus makin melek teknologi, terbuka,
tidak eksklusif dan selalu memiliki ghirah mencari ilmu.
Organisasi
pendidikan agama Islam memerlukan rekonstruksi supaya mampu beradaptasi dengan
lingkungan. Organisasi pendidikan perlu dipahami sebagai sistem terbuka.
Rekonstruksi organisasi diarahkan untuk menjadi organisasi post-birokrasi atau organisasi network. Model organisasi ini
akan sangat berbeda daripada model birokrasi.
Organisasi model baru ini tidak mementingkan hierarki tapi lebih
memanfaatkan pendekatan profesional, ia mementingkan kerjasama diantara
penghuni organisasi. Implikasinya, guru – guru yang kenyataannya baik meskipun
belum lama mengajar, harus mendapat tempat yang wajar, sehingga semangatnya
tidak mengalami pengendoran.
E.
KESIMPULAN
Dalam upaya mencapai kualitas manusia
sesuai tuntutan masyarakat, munculah persoalan – persoalan ‘ Konseptual dan
Teknis ‘ dalam menjalankan aktifitas pendidikan. Dilihat dari paradigma
filosofisnya, setiap pendidikan mempunyai pandangan dasar serta visi kultural
yang berbeda tergantung pada dasar falsafah hidupnya yang pada gilirannya akan
berpengaruh pada pengembangan operasional pendidikan yang meliputi kurikulum,
metodologi, materi ajar, evaluasi, serta pengelolaan organisasi pendidikan dan
seterusnya. Pembenahan dan peningkatan pendidikan islam bukanlah pekerjaan
sederhana. Karena memerlukan perencanaan secara integral dan komprehensif agar
sasarannya terfokus, dengan melibatkan berbagai aspek terkait. Disamping
perencanaan yang baik dan terarah, perlu didukung dengan kegiatan yang bisa
menghasilkan landasan – landasan kebijakan dan pengembangannya.
Dalam konteks lembaga pendidikan,
keberhasilan pendidikan mencakup pencapaian tujuan dan kemempuan sekolah dalam
mempertahankan proses organisasinya. Namun kenyataanya tidak semua sekolah
memiliki tujuan yang sama, meskipun secara nasional semua sekolah hendak
mencapai tujuan pembangunan negara dan secara spesifik tentu tujuan akan
dicapai berbeda – beda. Oleh karenanya terasa sulit membandingkan keberhasilan
sekolah yang satu dengan yang lain. Sekolah yang berhasil dicirikan oleh hal –
hal berikut; tujuan yang jelas, suasana yang kondusif untuk belajar, harapan yang
tinggi dari siswa, kepala sekolah yang demokratis, dan dukungan yang kuat dari
orang tua dan masyarakat.
Tampak dihadapan kita sebuah tantangan
dan kemungkinan yang harus senantiasa diperhatikan dalam setiap jejak melaksanakan
proses pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam harus melahirkan
kepribadian insan secara totalitas. Dan ini memerlukan perombakan – perombakan
mendasar baik dalam dataran konsepsional maupun dataran praktis. Semoga tulisan
ini mampu memberikan sumbangan rumusan baru yang strategis dan bermakna bagi
bangsa dan negara. Wallahu a’lam bi al -
Shawab.
☺. Praktisi
Pendidikan pada MTs Al Fatah Suradadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar