Syekh Ibn Ataillah berkata:
La tashab man la yunhidluka haluhu, wa la yadulluka ‘ala-l-Lahi maqaluhu.
Terjemahan:
Janganlah engkau berkawan dengan seseorang yang tindakan-tindakannya tak
membuatmu menjadi giat dan “trengginas” (untuk mendekat kepada Tuhan),
dan
ucapan-ucapannya pun tak menunjukkanmu kepada-Nya.
Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian:
umum dan khusus.
Pengertian umum. Pada bagian ini, Syekh Ibn
Ataillah ingin mengulas pengaruh-pengaruh yang bisa timbul karena sebuah
persahabatan. Sebab manusia memiliki kecenderungan yang unik: dia kadang-kadang
tak bisa sepenuhnya merdeka dari pengaruh-pengaruh dari sekitarnya. Lingkungan
memainkan peran yang sangat penting dalam mendorong manusia untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.
Lingkungan persahabatan bisa mendorong seseorang untuk mudah menjalani
kehidupan rohaniah, atau menjebaknya dalam kehidupan yang sepenuhnya terserap
oleh hal-hal yang duniawi.
Ada orang-orang tertentu yang kehadirannya di tengah-tengah suatu komunitas
membuat orang-orang yang ada di sekitarnya merasakan “energi spiritual” yang
begitu kuat, sehingga mereka terdorong untuk menjalani kehidupan rohaniah yang
intensif. Sementara itu ada jenis orang-orang tertentu yang kehadirannya justru
membuat orang lain merasakan kegelapan rohaniah, kegalauan batin, keresahan
mental.
Ada orang-orang tertentu yang memiliki daya rohaniah yang begitu kuat,
karena cahaya yang ada dalam jiwa dan rohaninya, sehingga begitu kita mendekat
kepadanya, kita merasakan pengaruh spiritual yang timbul dari dirinya. Pengaruh
spiritual itu membuat kita menjadi “trengginas” atau giat beribadah kepada
Tuhan, menjalani kehidupan spiritual yang khusyuk.
Ada orang-orang yang perkataannya mendorong kita untuk terus melakukan
refleksi, merenung, berpikir dengan mendalam mengenai Tuhan dan Kebenaran
Sejati mengenai kehidupan. Orang-orang semacam inilah yang layak dijadikan
sahabat, sekaligus “guru spiritual” untuk memandu perjalanan spiritual kita
menuju Tuhan.
Sementara orang-orang yang memiliki kualitas-kualitas sebaliknya, tak layak
menjadi sahabat kita. Orang-orang yang kehadirannya membuat kita justru
mengalami “keresahan spiritual”, menebarkan pengaruh-pengaruh negatif secara
rohaniah, sudah seharusnya dijauhi. Jika kita ingin melakukan perjalanan
spiritual menuju Tuhan, kita membutuhkan “fellow traveler”, rekan seperjalanan
yang memiliki “gelombang rohani” yang kurang lebih sama dengan kita, sehingga
dengan demikian perjalanan kita menjadi lebih ringan.
Ini sama saja dengan keadaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan dalam bidang
apapun. Seorang ilmuwan butuh komunitas dan lingkungan akademis yang kondusif,
yang bisa memberikan stimulasi intelektual bagi dirinya. Tanpa kehadiran
lingkungan yang stimulatif semacam ini, seorang ilmuwan bisa mengalami
keputus-asaan, frustrasi. Sebab kerja ilmiah adalah kerja yang jauh dari
keramaian, kerja dalam ruang sepi yang bisa sangat membosankan. Tanpa kehadiran
sahabat-sahabat yang bisa memantik ide-ide yang kreatif, seorang ilmuwan akan
mengalami kesulitas besar.
Demikian pula, kehidupan spiritual sebagai seorang sufi bisa sangat sepi,
jauh dari keramaian masyarakat. Kehadiran seorang sahabat yang tepat, sahabat
yang memiliki “gelombang rohani” yang cocok, akan memudahkan perjalanan
spiritual kita.
Pengertian khusus. Dalam dunia sufi ada apa yang disebut dengan “suhbah”, yaitu
pertemanan spiritual. Aspek ini memainkan peran yang sangat penting dalam
kehidupan spiritual seorang sufi. Bilsa seorang sufi mendapatkan “suhbah” yang
tepat, ia akan mendapatkan kemudahan besar dalam kehidupan spiritualnya.
Seorang sufi tak bisa menjalani kehidupan spiritual yang sukses tanpa
kehadiran seorang guru. Man la syaikha lahu fa-syaikhuhu syaithan, demikian
dikatakan dalam sebuah kebijaksaan sufi. Siapa yang melakukan perjalanan rohani
tanpa bimbingan seorang guru, maka ia rentan akan terjerembab dalam bimbingan
“kekuatan roh jahat” yang disimbolkan dengan figur syetan atau iblis.
Ada empat syarat yang harus terpenuhi dalam guru sufi atau mursyid. Yang
pertama: ilmu rohani yang benar dan tepat (‘ilmun sahihun). Kedua: intuisi
rohaniah yang tajam (dzauqun sharihun). Ketiga: focus yang terarah kepada Tuhan
saja (himmah ‘aliyah); dan keempat: memiliki perangai dan prilaku moral-etis yang
bisa benar dan bisa diandalkan (halatun mardliyyah).
Pelajaran penting yang bisa kita petik dari sini
ialah: kita harus bisa menciptakan lingkungan persahabatan yang kuat agar
tujuan kita untuk menjalani kehidupan rohani bisa berhasil. Ciptakanlah lingkungan
yang berisi “fellow traveler”, teman-teman seperjalanan yang bisa berbagi
pengalaman-pengalaman spiritual dengan kita. Teman-teman yang tepat dapat
mempercepat perjalanan kita untuk mencapai Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar