Mabruridlo : Guru MTs Al Fatah Suradadi

<< Selamat Datang di Blog's Abdima MTs Al Fatah Suradadi >> << Terima kasih sudah mampir, Semoga dapat memberi arti dan manfaat, meskipun sangat kecil dan remeh >>

Sabtu, 23 Agustus 2025

Strategi Guru Memahami dan Menangani Perilaku Murid : Ikhtiar Membangun Lingkungan Belajar Inklusif, Aman, Sehat, Dan Bermakna

Dalam proses belajar mengajar, guru seringkali dihadapkan berbagai perilaku murid yang menantang, mulai dari pasif, agresif, sulit fokus, perfeksionis, hingga ditolak secara sosial. Setiap perilaku memiliki ciri khas dan penyebab yang berbeda, seperti kurangnya rasa percaya diri, keterampilan sosial yang lemah, tekanan  emosional, hingga pengaruh lingkungan. 

Dengan memahami akar masalah tersebut, pendidik dapat menghadirkan strategi penanganan yang lebih tepat, sehingga kelas tidak hanya menjadi tempat belajar akademik, tetapi juga ruang tumbuh yang aman, inklusif, dan bermakna bagi  semua murid.

1. Murid Pasif

Di dalam kelas, selalu ada murid yang lebih senang berdiam diri. Mereka duduk tenang, mengikuti pelajaran, tetapi jarang mengangkat tangan, enggan  berbicara, dan bahkan tampak "hilang" dalam diskusi kelompok. Murid pasif bukan berarti malas atau tidak peduli, melainkan sering kali menyimpan rasa takut untuk tampil. Mereka cenderung berpikir, “Daripada salah, lebih baik diam saja.”

Fenomena ini dapat berakar dari berbagai faktor: rasa tidak percaya diri, pengalaman diejek ketika salah menjawab, hingga ketidaknyamanan emosional di lingkungan belajar. Tidak jarang pula, pola asuh yang menekankan kepatuhan tanpa ruang untuk berpendapat menjadikan anak terbiasa menahan diri.

Di sinilah peran guru menjadi sangat penting. Guru bukan hanya penyampai materi, melainkan juga fasilitator keberanian. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

  • Membangun suasana aman secara emosional. Murid harus merasa bahwa kelas adalah tempat yang ramah, di mana kesalahan bukanlah aib, melainkan bagian dari proses belajar.
  • Memberikan tugas sederhana dan bertahap. Tugas kecil dengan tingkat kesulitan ringan dapat menjadi “batu pijakan” untuk menumbuhkan rasa percaya diri.
  • Menggunakan teknik scaffolding. Dengan memberi dukungan secara bertahap lalu menguranginya seiring perkembangan murid, guru dapat membantu anak belajar mandiri tanpa merasa ditinggalkan.
  • Melibatkan dalam kelompok kecil. Bagi murid pasif, berbicara di hadapan seluruh kelas mungkin menakutkan. Namun, dalam kelompok kecil mereka bisa merasa lebih aman dan perlahan mulai berani menyampaikan ide.

Murid pasif sebenarnya menyimpan potensi besar. Mereka sering kali memiliki kemampuan mendengar dengan baik, menganalisis dalam diam, dan berpikir lebih matang sebelum berbicara. Dengan sentuhan pedagogis yang tepat, sikap pasif ini dapat diarahkan menjadi kekuatan: murid yang tenang, reflektif, dan berani angkat suara ketika waktunya tepat.

2. Murid Agresif

Di sisi lain kelas, ada murid yang tampak "meledak-ledak". Mereka mudah tersulut emosi, cepat marah, mendominasi teman sebaya, bahkan kadang meluapkan agresi secara verbal maupun fisik. Murid agresif sering dipandang sebagai pengganggu, padahal perilaku ini biasanya hanyalah permukaan dari perasaan yang jauh lebih dalam: frustrasi, luka, atau kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi.

Penyebab agresivitas dapat beragam. Ada murid yang membawa pengalaman negatif dari rumah atau lingkungannya, ada pula yang belum memiliki keterampilan sosial untuk mengelola konflik. Bagi sebagian anak, bersikap keras adalah cara mereka melindungi diri dari rasa tidak aman atau ketidakberdayaan.

Guru menghadapi tantangan besar di sini. Menegur atau menghukum tanpa memahami akar masalah justru bisa memperburuk keadaan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan tegas sekaligus penuh empati. Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain:

  • Menetapkan aturan dan batasan yang konsisten. Murid agresif perlu memahami bahwa ada “garis batas” yang tidak boleh dilanggar. Konsistensi ini membantu mereka merasa aman sekaligus terarah.
  • Mengajarkan keterampilan mengelola emosi. Murid perlu diberi “bahasa” untuk mengekspresikan marah tanpa menyakiti. Komunikasi asertif dan teknik relaksasi bisa dilatih secara bertahap.
  • Memberikan saluran positif untuk ekspresi diri. Seni, olahraga, atau menulis jurnal dapat menjadi katup pelepas emosi yang sehat. Anak yang belajar melukis atau menulis bisa menemukan cara baru untuk menyampaikan perasaan.
  • Melibatkan konselor atau psikolog sekolah. Jika intensitas agresi sudah mengganggu perkembangan anak dan lingkungannya, bantuan profesional menjadi langkah bijak untuk mendampingi lebih dalam.

Murid agresif sering dianggap sebagai “batu sandungan” dalam kelas, padahal mereka sejatinya adalah anak-anak yang sedang berteriak meminta bantuan, meski dengan cara yang tidak tepat. Dengan pendekatan yang penuh kesabaran, murid agresif dapat diarahkan menjadi pribadi yang berani, kuat, dan tangguh bukan karena melawan, tetapi karena mampu mengendalikan diri.

3. Murid Sulit Fokus

Di tengah suasana kelas, ada murid yang seolah "melayang ke dunia lain". Tatapannya kosong, sering melamun, atau malah sibuk dengan hal-hal kecil di luar pelajaran. Tugas yang diberikan seringkali tak selesai, dan mereka mudah terdistraksi oleh suara, gerakan, bahkan bisikan kecil. Murid sulit fokus bukan berarti tidak cerdas, melainkan sedang berjuang untuk mengarahkan perhatiannya di tengah banyaknya rangsangan.

Penyebab kesulitan fokus bisa sangat beragam. Ada yang memang memiliki gangguan perhatian, ada yang membawa beban emosional dari luar sekolah, atau sekadar merasa materi yang disampaikan tidak relevan dengan dirinya. Dalam kondisi tertentu, sulit fokus juga bisa dipicu oleh rasa cemas atau lingkungan belajar yang kurang kondusif.

Tugas guru adalah membantu mereka “menambatkan jangkar” agar pikiran tidak terus berkelana. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:

  • Menghadirkan metode belajar variatif dan interaktif. Murid yang cepat bosan akan lebih tertarik bila pembelajaran disajikan dengan media visual, permainan edukatif, atau diskusi singkat.
  • Membagi tugas besar menjadi bagian kecil. Daripada satu proyek besar yang melelahkan, lebih baik dipecah menjadi target-target sederhana agar lebih mudah dicapai.
  • Memberikan jeda istirahat teratur. Murid sulit fokus sering kali membutuhkan “reset” sejenak sebelum melanjutkan konsentrasi. Istirahat singkat justru bisa meningkatkan produktivitas.
  • Menghargai setiap usaha untuk fokus. Pujian sederhana ketika mereka berhasil menyelesaikan bagian kecil tugas bisa menjadi motivasi besar untuk mencoba lagi.

Murid yang sulit fokus tidak selalu berarti malas atau acuh tak acuh. Justru banyak di antara mereka yang punya imajinasi tinggi, daya cipta besar, dan energi yang melimpah jika diarahkan dengan tepat. Dengan kesabaran dan kreativitas guru, kesulitan fokus bisa berubah menjadi kekuatan: kemampuan untuk berpikir out of the box, berimajinasi luas, dan melihat hal-hal yang terlewatkan oleh orang lain.

4. Murid Perfeksionis

Tidak semua murid berdiam diri karena malas, dan tidak semua murid giat karena penuh semangat. Ada pula tipe murid yang tampak rajin, teliti, bahkan sangat ambisius—namun di baliknya tersembunyi rasa takut yang besar untuk berbuat salah. Inilah murid perfeksionis: anak yang sering menunda tugas karena ingin hasil sempurna, cemas ketika menemui kesalahan kecil, atau terbebani oleh standar tinggi yang mereka pasang sendiri, atau bahkan dipasang oleh orang lain.

Perfeksionisme dapat lahir dari banyak faktor. Bisa jadi karena tekanan internal keinginan kuat untuk selalu menjadi yang terbaik atau tuntutan eksternal, seperti ekspektasi orang tua, guru, atau lingkungan sekitar. Pola asuh yang keras dan menuntut juga kerap meninggalkan jejak berupa rasa takut gagal yang berlebihan.

Bagi guru, murid perfeksionis perlu dipandang bukan sebagai “bintang kelas tanpa cela”, melainkan sebagai anak yang rapuh karena selalu merasa tidak cukup. Untuk mendampingi mereka, guru dapat melakukan beberapa strategi:

  • Menekankan proses, bukan semata hasil. Ingatkan murid bahwa belajar adalah perjalanan, bukan sekadar garis akhir.
  • Menormalisasi kesalahan. Kesalahan adalah bagian wajar dari proses tumbuh, bahkan pintu masuk untuk pemahaman yang lebih dalam.
  • Menyajikan teladan nyata. Ceritakan tokoh-tokoh hebat yang justru berhasil setelah berkali-kali gagal. Ini membantu murid melihat kegagalan sebagai bagian dari kesuksesan.
  • Menggunakan rubrik yang fleksibel. Penilaian berbasis perkembangan, bukan hanya angka kaku, dapat mengurangi tekanan dan memberi ruang bagi murid untuk belajar tanpa rasa takut.

Murid perfeksionis sesungguhnya memiliki potensi luar biasa: ketekunan, detail, dan standar tinggi yang bisa menjadi bekal kesuksesan. Namun, potensi itu hanya akan berkembang sehat bila mereka belajar berdamai dengan ketidaksempurnaan. Guru yang peka dapat membantu mereka menyadari bahwa kesempurnaan bukan tujuan, melainkan kemajuan yang bertahap dan penuh makna.

5. Murid yang Ditolak Secara Sosial

Di tengah keriuhan kelas, selalu ada murid yang duduk menyendiri. Ia jarang diajak bermain, tidak dilibatkan dalam kelompok, bahkan terkadang menjadi sasaran ejekan atau perundungan. Murid yang ditolak secara sosial sering kali menanggung beban yang tak terlihat: rasa kesepian, rendah diri, hingga luka emosional yang bisa terbawa hingga dewasa.

Penolakan sosial dapat terjadi karena berbagai alasan—perbedaan karakter, kurangnya keterampilan sosial, atau stigma tertentu yang melekat pada diri anak. Sayangnya, kondisi ini bukan hanya melukai hati murid, tetapi juga menghambat perkembangan sosial-emosional dan kemampuan belajarnya. Anak yang merasa tidak diterima akan sulit berkembang secara optimal, karena kebutuhan dasarnya untuk merasa aman dan diakui belum terpenuhi.

Peran guru dan sekolah sangat vital untuk memastikan setiap anak memiliki ruang aman untuk tumbuh. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  • Menciptakan budaya kelas yang inklusif. Guru dapat menanamkan nilai saling menghargai dan merayakan keberagaman sejak awal tahun ajaran.
  • Mendesain kegiatan kelompok yang positif. Aktivitas kolaboratif yang adil memberi kesempatan setiap murid untuk berinteraksi, saling mengenal, dan membangun kerja sama.
  • Mengajarkan empati secara eksplisit. Anak-anak perlu belajar memahami perasaan orang lain, menghargai perbedaan, dan menolak sikap diskriminatif.
  • Menggerakkan komunitas sekolah melawan perundungan. Kampanye anti-bullying, sosialisasi, serta kerja sama antara guru, orang tua, dan siswa sangat penting untuk membangun lingkungan belajar yang sehat.

Murid yang ditolak secara sosial sebenarnya tidak kekurangan potensi. Mereka hanya membutuhkan ruang untuk diterima, dihargai, dan diperlakukan dengan adil. Dengan dukungan yang tepat, anak-anak ini bisa tumbuh menjadi pribadi yang penuh empati, memiliki daya juang tinggi, dan justru mampu memahami orang lain lebih dalam karena pernah merasakan “sepi” yang tidak semua orang alami.

Kelima perilaku murid (pasif, agresif, sulit fokus, perfeksionis, dan ditolak secara sosial) bukanlah sekadar masalah yang harus diberantas, melainkan sinyal penting tentang kebutuhan mereka yang belum terpenuhi. Guru yang peka akan membaca sinyal itu, bukan dengan hukuman, melainkan dengan pemahaman dan strategi yang tepat.

Dengan pendekatan yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan, setiap perilaku menantang bisa berubah menjadi peluang emas untuk mendampingi murid tumbuh lebih utuh: cerdas dalam berpikir, tangguh dalam menghadapi tantangan, dan hangat dalam menjalin hubungan sosial.

Perilaku bermasalah murid bukanlah hambatan mutlak, melainkan sinyal penting yang perlu ditafsirkan dengan bijak. Dengan pendekatan yang berkesadaran (memahami latar belakang perilaku), bermakna (menyesuaikan strategi dengan kebutuhan individu), dan menggembirakan (menciptakan suasana aman dan menyenangkan), guru mampu menolong murid tumbuh lebih utuh.

Lebih jauh, penanganan yang tepat tidak hanya menyelesaikan masalah sesaat, tetapi juga membentuk karakter, mengasah keterampilan hidup, serta  memperkuat hubungan antara murid, guru, dan lingkungannya. Di sinilah  pendidikan menemukan makna sejatinya: mendampingi manusia muda agar  berkembang menjadi pribadi yang tangguh, empatik, dan berdaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar